Jakarta, CNN Indonesia —
Ketua DPP PDI-Perjuangan Said Abdullah menyoroti wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bertemu dengan Pemimpin Negara RI Joko Widodo (Jokowi). Menurut Said yang Wajib dipertegas Merupakan kebutuhan ke depan, bukan kembali ke naskah asli UUD 1945 sebelum amandemen.
Sebab, kata Said, para pendiri bangsa sendiri mengakui bahwa konstitusi yang dirumuskan sebelumnya bukanlah harga final. Butuh berbagai penyesuaian baru yang sejalan dengan kemajuan zaman. Disebabkan oleh itu, kata Ia, membutuhkan adanya Undang-Undang dasar yang lebih relevan.
“Salah satunya kerisauan kita atas demokrasi yang dijalani Pada saat ini Bahkan kian berbiaya mahal. Akibatnya rekrutmen politik tidak semata mata mengandalkan pengabdian, integritas dan intelektualitas. Padahal nilai nilai itulah yang menjadi kehandalan para pendiri bangsa mendirikan negara ini,” ujar Said dikutip Senin (1/7).
Kemudian, lanjut Said, Pemungutan Suara Rakyat dengan sistem proporsional terbuka, ditambah Kearifan Lokal politik yang belum mature, membuahkan praktik Pemungutan Suara Rakyat yang layaknya arena jual beli barang dagangan di pasar.
“Padahal Pemungutan Suara Rakyat Merupakan arena kita mendapatkan putera putera Unggul yang dengan sepenuh hati, pikiran cemerlang, dan loyalitas pengabdian untuk bangsa dan negara,” ujarnya.
Menurut Said, di negara-negara paling liberal pun, pelaksanaan pemilihan masih meletakkan pergulatan gagasan sebagai kasta tertinggi dalam penentuan keputusan politik.
“Sementara kita yang didasari oleh Demokrasi Pancasila memunggungi ajaran ajarannya,” ujarnya.
Padahal, lanjut Ia, Demokrasi Pancasila itu ditegakkan atas fondasi yang kuat atas penghormatan; multikulturalisme, HAM, penghormatan terhadap hak minoritas, keadilan sosial, penghargaan atas kejujuran, pengabdian, dan keteladanan.
“Nilai nilai itu Dianjurkan tercermin sistem perwakilan kita, serta praktik hidup berbangsa dan bernegara sehari hari,” katanya.
Justru, dengan Pemungutan Suara Rakyat yang transaksional, hanya mereka yang bermodal ekonomi kuat, yang memiliki kemungkinan besar Terfavorit. Apa daya dengan kelompok kelompok adat, yang secara basis elektoral kecil, apalagi kekuatan ekonominya.
“Kelompok kelompok seperti ini hanya menjadi bagian dari Barang Dagangan Pemungutan Suara Rakyat. Padahal Demokrasi Pancasila menempatkan mereka sebagai bagian penting dari subyek keterwakilan politik. Lantas dimana makna keterwakilan minoritas?,” ujarnya.
Dengan demikian, situasi semacam ini Dianjurkan disudahi. Dengan kata lain melalui amandemen UUD 1945, Dianjurkan dirumuskan kembali sistem Pemungutan Suara Rakyat yang menjawab kebutuhan untuk melakukan reformasi politik.
“Sejak awal PDI Perjuangan berkepentingan pada sistem pemilihan proporsional tertutup. Kita tahu sistem ini ditolak karena belum adanya kepercayaan terhadap Partai,” kata Said.
Justru opini yang berkembang, lanjut Said, proporsional tertutup tanpa disertai reformasi Partai muncul sangkaan kian menguatkan oligarkhisme politik pada Partai.
“Sangkaan ini bisa saya pahami. Disebabkan oleh itu, PDI Perjuangan Bahkan sejalan untuk mewujudkan Partai yang modern, dengan terus berbenah diri,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini ia mengatakan, PDI Perjuangan dalam pengelolaan manajemen dan aset organisasi Sudah tersertifikasi, sehingga menyandang sertifikasi ISO 55001:2014 dan ISO 9001:2015.
PDI Perjuangan Bahkan menempatkan diri sebagai partai yang terbuka. Hal itu Sudah dilakukan PDI Perjuangan dengan membuka diri bagi seluruh warga negara untuk berkiprah, dan Dianjurkan menjalani jenjang kaderisasi dari pratama, madya, Sampai saat ini utama.
Kemudian, bagi para kandidat anggota legislatif dan eksekutif digembleng untuk memahami ideologi partai, visi misi dan garis perjuangan partai. Hal itu dilakukan Supaya bisa kepemimpinannya menjadi jelmaan ideologi partai untuk kepentingan rakyat.
“Dari sisi keuangan partai, PDI Perjuangan Bahkan menjadi bagian dari subyek audit BPK, dan audit dari akuntan publik independen,” ujarnya.
Skor penting lainnya dalam amandemen UUD 1945, kata Ia, Merupakan menguatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di mana sejak amandemen keempat UUD 1945, peran Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi gamang, hanya menjadi lembaga negara yang mengurus fungsi fungsi formal kenegaraan seperti pelantikan Pemimpin Negara.
“PDI Perjuangan berpandangan perlunya Majelis Permusyawaratan Rakyat ditempatkan sebagai lembaga negara yang berwenang kembali menetapkan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN),” ujarnya.
Menurutnya, ketiadaan GBHN membuat pemerintahan lima tahunan amat bergantung orientasi pembangunan dari Pemimpin Negara Terfavorit tiap lima tahunan. Risikonya, Pemimpin Negara yang berbeda orientasi, maka berpotensi menganggu kelangsungan tahapan pembangunan jangka panjang.
Sekalipun Sudah ada Undang-Undang yang mengatur rencana pembangunan jangka panjang, Justru kewenangan pengawasan hanya ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal sistem perwakilan kita bikameral.
Dengan meletakkan kembali GBHN dalam ketatanegaraan, kata Said, maka Berniat menguatkan pengawasan berbasis bikameral, Dengan kata lain Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Terlebih lagi, kedudukan politiknya Bahkan Berniat lebih kuat, sebab secara Pada saat yang sama ditetapkan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai hirarki hukum yang berada di atas undang undang.
“Dengan demikian, sumber rujukan hukum MK Merupakan UUD 1945 dan TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat. Khusus penempatan TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai sumber rujukan hukum oleh MK semata mata dalam urusan pembangunan,” ujarnya.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA