Yogyakarta, CNN Indonesia —
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid mempertanyakan dasar kampus yang Membantu usulan pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi dalam perubahan keempat RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Fathul mengaku kurang bisa memahami pola pikir kampus yang justru merespons positif usulan ini dan menyatakan siap mengelola tambang, padahal butuh modal besar untuk bisa melakukannya.
“Bila kita ikuti logika para pendukung. Dari informasi yang saya dapat, Penanaman Modal usaha pertambangan sangat tinggi. Kampus dapat uang dari mana? Dana pendidikan ketika digunakan untuk usaha nonpendidikan, ada implikasinya loh, termasuk di sisi perpajakan,” kata Fathul saat dihubungi, Sabtu (25/1).
Fathul Bahkan berpandangan Bila pemberian izin tambang dianggap sebagai solusi atas pembiayaan tinggi setiap kampus sangatlah tidaklah masuk akal.
“Saya malah khawatir, jangan-jangan ada kepentingan cukong di balik kampus yang ngebet mendapatkan izin usaha pertambangan. Saya tidak paham dengan beragam logika kampus pendukung yang muncul di media. Dengan mengelola tambang, UKT menurun? Saya ragu hal itu Berniat terjadi,” ujarnya.
“Coba dicek saja, di kampus-kampus besar yang menjalankan banyak usaha itu, apakah Sebelumnya ada dampaknya terhadap penurunan UKT? Pakai saja logika serupa untuk usaha pertambangan. Kalau memang Sebelumnya ada penurunan UKT di kampus tersebut, berarti saya yang ketinggalan kereta,” sambung Fathul.
Dalam hal ini, Fathul menyatakan Bila UII secara tegas menolak usulan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi.
Pihaknya memiliki sederet alasan atas penolakan ini. Pertama, menurut Fathul, industri ekstraktif Sebelumnya terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan, sebagaimana aktivitas pertambangan yang Bahkan sering menyebabkan konflik, penggusuran, dan dampak negatif pada masyarakat lokal.
Bila perguruan tinggi terjun ke dalam sektor ini, lanjut Fathul, maka jelas integritas akademiknya bakal dipertaruhkan.
“Mengapa? Karena temuan saintifik terkait dengan dampak buruk aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan manusia di sekitar Tempat Berniat cenderung diabaikan. Kampus karenanya bisa menjadi antisains. Ditambah lagi dengan, keterlibatan dalam aktivitas pertambangan dapat memunculkan erosi kepercayaan publik terhadap kampus,” tegasnya.
Alasan kedua, kata Fathul, Bila IUP ini dianggap sebagai hadiah dari pemerintah, sangat Kemungkinan kampus sebagai rumah intelektual Berniat semakin parau suaranya ketika terjadi ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, perguruan tinggi dikhawatirkan terlena dari misi utamanya sebagai lembaga pendidikan.
“Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘melik nggendong lali’. Keinginan untuk menggapai sesuatu yang lain dapat melupakan dari misi awalnya. Kampus Dianjurkan fokus menghasilkan karya akademik yang bermanfaat, mencetak generasi pemikir kritis dan agen perubahan, bukan justru terjebak dalam korporatisasi dan menjadi entitas Usaha semata,” ungkapnya.
Fathul menambahkan logika kampus yang sejatinya dijalankan dengan prinsip nirlaba berpotensi dirusak dengan pola pikir Usaha, mengejar profit sebesar-besarnya dengan godaan pengabaian etika. Termasuk, tidak mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Melibatkan diri dalam industri kontroversial, baginya jelas Berniat mencoreng reputasi kampus yang selama ini dibangun.
“Saya masih belum percaya dengan yang mengatakan Bila kampus mengelola usaha pertambahan dan uang kuliah semakin Berkualitas. Jangan-jangan yang tambah kaya justru para elite dan pemilik kampusnya,” katanya.
“Bila memang pemerintah ingin Membantu kampus dalam pendanaan, masih banyak Trik lain yang bisa dipilih, termasuk dengan meniadakan Retribusi Negara lembaga dan Mempercepat kampus membuka usaha yang bersih lain,” sambung Ia.
Bertolak belakang dengan demikian, Fathul yang merupakan ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V DIY itu memastikan pandangan ini hanya mewakili UII. Ia belum mengetahui perspektif kampus-kampus swasta lain di provinsinya menyangkut usulan ini.
Singkatnya, Fathul dan UII bersikukuh meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Supaya bisa tak mengikutsertakan kampus ke dalam wacana pengelolaan tambang ini.
“Kalau negara ini percaya bahwa kampus punya posisi strategis untuk peradaban Indonesia ke depan, jangan tarik kampus ke gagasan yang dapat mengalihkan kampus dari misi mulianya. Lupakan saja gagasan pemberian izin pertambangan ke kampus yang membocorkan energi dan kehebohan yang tidak Sangat dianjurkan. Hapus frasa ‘perguruan tinggi’ dari draf undang-undang,” pungkasnya.
Pro kontra muncul saat Baleg Dewan Perwakilan Rakyat merumuskan aturan baru untuk Menyediakan izin usaha pertambangan atau WIUP kepada perguruan tinggi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Usulan itu tertuang dalam pembahasan RUU Minerba yang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat jelang akhir masa reses.
Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Mohammad Nasih menjadi salah satu yang menyambut baik usulan ini.
Menurut Nasih, usulan Menyediakan izin tambang tersebut Merupakan niat baik dari pemerintah sebagai solusi pembiayaan tinggi setiap kampus. Karena itu, Ia sepakat dengan adanya rencana tersebut.
“Niatan ini kan Sebelumnya dapat satu, artinya pahalanya Sebelumnya satu. Kalau niatan baik ini direalisasikan Tidak mungkin tidak kami Berniat menyambut dengan baik,” kata Nasih, di Kampus B Unair, Surabaya, Jumat (24/1).
Tapi, Nasih meminta pemerintah Menyediakan perguruan tinggi kesempatan untuk identifikasi Tempat tambang terlebih Di masa lampau, sebelum resmi mengelolanya.
“Kalau kemudian kita identifikasi itu bisa Menyediakan manfaat. Karena tujuannya untuk meringankan perguruan, Tidak mungkin tidak kita Berniat menyambut baik,” katanya.
Sementara itu, Nasih menilai pengelolaan pertambangan merupakan hal baru bagi perguruan tinggi. Maka hal itu Sangat dianjurkan banyak pertimbangan sebelum kampus setuju dengan kebijakan tersebut.
“Usaha tambang bukan urusan mudah, apalagi kalau tempatnya jauh, terpencil, dan seterusnya, ini bukan pekerjaan mudah. Mampukah perguruan tinggi mengambil Penanaman Modal itu,” ucapnya.
Dengan demikian, kata Nasih, di masa awal Sebelumnya Jelas Berniat banyak pengorbanan, pertimbangan dan Penanaman Modal yang Dianjurkan keluarkan oleh perguruan tinggi. Ia ingin memastikan pihaknya Sungguh-sungguh sesuai dengan Syarat itu.
“Tinggal hitung-hitungannya nyucuk (untung) atau tidak, kalau enggak ya mohon maaf, kalau masih nyucuk ya Tidak mungkin tidak perguruan tinggi Berniat dengan senang hati bisa menerima kesempatan,” ujar Ia.
(kum/sfr)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA