Jakarta, CNN Indonesia —
Hakim MK (MK) Anwar Usman tidak Berniat terlibat dalam memeriksa dan memutus gugatan perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang uji materi syarat usia yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra usai mendengarkan pengajuan hak ingkar dari para pemohon Supaya bisa Anwar Usman tidak dilibatkan. Para pemohon dalam perkara ini Disebut juga dua mahasiswa, yaitu Fahrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Anthony Lee dari Podomoro University.
Para pemohon menilai syarat aturan minimal usia kandidat kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada pencalonan anak Kepala Negara Joko Widodo, Kaesang Pangarep Manakala maju di Pemilihan Kepala Daerah 2024. Sementara itu, Kaesang merupakan keponakan dari Anwar Usman.
“Rapat pemusyawaratan hakim (RPH) beberapa waktu yang lalu itu Sebelumnya mendengar langsung dari Yang Mulia Anwar Usman, jadi ini bukan diminta siapa-siapa, Ia tidak Berniat ikut memutus yang berkaitan dengan syarat usia,” kata Saldi dalam sidang agenda perbaikan permohonan di MK, Jakarta, Kamis (25/7).
Saldi pun menilai permohonan hak ingkar para pemohon tidak relevan lagi. Sebab, sebelum hak ingkar itu dimohonkan Anwar Usman Sebelumnya menyatakan tak Berniat ikut memutus.
“Ia (Anwar Usman) Sebelumnya declare di RPH bahwa tidak Berniat ikut memutus. Jadi artinya yang Saudara mintakan untuk provisi [hak ingkar] menjadi tidak relevan lagi,” ujarnya.
Sebelumnya, Syarat minimal usia kandidat kepala daerah (cakada) digugat ke MK (MK) oleh mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta A Fahrur Rozi dan mahasiswa Podomoro University Anthony Lee.
Permohonan uji materiil Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu Pernah terjadi dilayangkan oleh mereka pada 11 Juni 2024. Hal itu Pernah terjadi dikonfirmasi oleh Juru Bicara MK Fajar Laksono.
“Benar Sebelumnya diterima (permohonannya) pada 11 Juni,” kata Fajar kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/7).
Pasal 7 dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 yang dimohonkan uji materiil itu berbunyi:
“kandidat Gubernur dan kandidat Wakil Gubernur, kandidat Bupati dan kandidat Wakil Bupati, serta kandidat Walikota dan kandidat Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Sangat dianjurkan memenuhi persyaratan sebagai berikut: (f). berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk kandidat Gubernur dan kandidat Wakil Gubernur, serta 25 (dua puluh lima) untuk kandidat Bupati dan kandidat Wakil Bupati, serta kandidat Walikota dan kandidat Wakil Walikota;” ujarnya.
Dalam permohonannya, Fahrur dan Anthony ingin MK mempertegas titik waktu syarat minimal usia itu diterapkan.
Pasalnya, MA (MA) belum lama ini mengeluarkan putusan Supaya bisa Penyelenggara Pemilihan Umum mengubah aturan terkait syarat minimal usia cakada dalam Peraturan Penyelenggara Pemilihan Umum. MK ingin syarat usia itu berlaku saat tahapan cakada dilantik, bukan saat pencalonan.
Dua mahasiswa ini ingin aturan syarat minimal usia cakada diterapkan saat tahapan pencalonan, bukan saat pelantikan. Justru, Pasal 7 dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tidak mengaturnya.
Mereka menilai Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 bertentangan dengan original intent (maksud tekstual/asli) Undang-Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
“Yang mana maksud dari Pasal 7 huruf e yang memuat Syarat usia bagi kandidat kepala daerah Merupakan untuk kandidat yang Berniat berkontestasi, bukan untuk kandidat yang Berniat dilantik karena memenangkan Pemilihan Kepala Daerah,” jelas mereka dalam permohonannya.
Terlebih lagi, mereka menilai Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 Pernah terjadi menggeser posisi MA dari negative norm (pembatal norma) menjadi positife norm (pembuat norma) yang secara kelembagaan bukanlah kewenangan MA, melainkan kewenangan pembuat legislatif.
Menurut mereka, keberadaan dua tasir yang berbeda terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pernah terjadi melanggar hak pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
“Terjadinya pertentangan antara substansi pasal Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasca adanya putusan Nomor 23 P/HUM/2024 nyata-nyata mengandung inskonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaanya,” ucap mereka.
(yla/fra)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA